TELEPATI
“Hiks hiks hiks…aku takuuutttt…gelap,
pengap…tolong…Ya Allah…harus gimana ini…” suaraku mulai parau, “Resi…tolong aku…aku
harap kamu bisa dengar…” Air mataku tak terbendung lagi. Teringat kejadian pagi
tadi.
Aku kesaaaal sekali pada
saudara kembarku Resi, pasalnya dia selalu bangun lebih pagi, selalu lebih
rajin dan tanpa diminta bersedia membantu ibu dengan senang hati. “Halah…pasti
ada maunya dia…”, kataku dalam hati. Tapi tidak lho, dia tidak pernah meminta
apapun setelah membantu ibu. Seperti pagi ini, setelah shalat subuh berjamah Resi
menawarkan diri untuk membantu Ibu mencuci piring. Kalau aku…mending tidur lagi
saja. Toh Ibu dan Ayah tidak akan marah. Tapi ternyata yang aku harapkan
berbeda. Ayah tiba-tiba memanggilku saat aku baru saja mau masuk kamar lagi.
“Risa…sini Nak”. Aku segera
mendekat, suara Ayah yang besar dan dalam membuat siapapun yang mendengar akan
mematuhi apa yang dimintanya, belakangan aku baru tau kalau itu dinamakan wibawa.
“Iya Yah”, jawabku sambal mendekat. “Ayah tidak keberatan kalau kamu mau tidur
lagi setelah shalat subuh kalau memang kamu terlalu lelah, tapi Ayah rasa tadi
malam kamu tidur cukup, kamu juga sempat tidur siang kemarin, bantulah Ibumu di
dapur, anak perempuan harus mulai terbiasa dengan dengan pekerjaan rumah. Ayah
lihat Resi yang laki-laki saja sudah semakin terampil membantu Ibu”, Ayah
berkata lembut, tapi buatku itu menyebalkan…karena Ayah memuji Resi di depanku.
“Baik Ayah”, kalau sama Ayah aku nggak akan berani membantah, padahal kasur empukku
sudah siap menyambutku dengan kehangatannya…terpaksa pagi ini dadah dulu dech.
Di dapur dengan menggerutu
kuraih sapu lantai, aku menyapu dengan asal karena kesal. Ibu melihatku dan
menegurku “Risa, sudah kelas 5 tapi nyapunya kok begitu”, aku tak menjawab,
tapi makin sebal karena Resi mulai meledekku dengan memeletkan lidahnya. “Huh,
dasar tukang cari perhatian”, gerutuku pada Resi. “Apa sih bagusnya dia, aku
masih lebih pintar darinya, hanya karena rajin bantu ibu saja sudah sering
dipuji”.aku tak bisa berhenti menggerutu.
Setelah mandi, sarapan dan berganti
seragam sekolah, aku yang biasa berangkat bersama Resi kali ini memilih
berangkat lebih dulu. Sekolah kami memang dekat dari rumah, 10 menit jalan kaki
juga sampai kok. Namun memang ada tangga naik sebanyak 10 anak tangga yang
harus kami naiki untuk mencapai gerbang sekolah. Untuk anak-anak sepertiku tak
akan jadi masalah, tapi buat Resi ini masalah besar karena dari kecil dia
mengidap semacam kelainan tulang, ya…saudara kembarku itu kaki kirinya agak
bengkok dan sedikit lebih kecil dari kaki kanannya. Jadi kalau mau naik tangga
harus aku bantu. Tapi pagi ini aku sengaja meninggalkannya, malas membantunya
menaiki tangga, biar saja dia usaha sendiri, sebal sekali aku.
Entah bagaimana cara Resi
menaiki tangga itu, kutaksir si dia dibantu teman sekelasnya, ah…aku tak peduli.
Tapi istirahat tadi di kantin aku melihatnya tertawa sambil makan bakwan bersama
Adi sahabatnya. Resi melihatku memperhatikannya dan dia melambaikan tangan padaku.
Cih…aku cepat memalingkan muka tanpa membalas lambaiannya. Pokoknya pulang
sekolah nanti aku tak akan menunggunya. Untung bagiku karena kami beda kelas, aku
kelas 5A dan dia 5B, jadi kalau pulang duluan nggak akan ketahuan dia.
Ah…aku lupa, selasa ini aku
kan piket, aku nggak bisa pulang lebih dulu dari Resi. Tak apalah…aku ambil
tugas piket yang paling ringan, membersihkan penghapus dan mengambil kapur
tulis baru di gudang. Aku kan bisa bilang pusing ke teman piket kelasku biar aku
nggak usah ikut menyapu dan mengepel lantai kelas, pikirku. Jadilah siang itu
aku terburu-buru ke gudang untuk membersihkan penghapus dan mengambil kapur. Tentu
saja setelah berbohong pada temanku kalau aku pusing dan ingin segera pulang.
Dari kaca gudang aku bisa melihat
Resi yang kebingungan mencariku, lalu tak lama dia beranjak pulang, “Siapa yang
membantunya turun tangga ya?” pikirku. “Ah…peduli amat, aku kan masih kesal”.
Aku melanjutkan tugasku membersihkan penghapus. Setelah selesai aku menuju
pintu gudang. Tapiiiii…kok pintunya gak bisa dibuka. Olala…aku lupa mengganjalnya,
pintu gudang ini memang sudah rusak, kalau sudah menutup tidak bisa dibuka dari
dalam dan hanya bisa dibuka dari luar, karena itu harus diganjal dengan batu.
Ah, bodohnya aku…lalu harus bagaimana ini…
Aku coba dorong-dorong lagi. 5
menit bersusah payah pintu tak bergerak. Aku menuju jendela dan beteriak
memanggil teman-temanku, kaca jendela tidak bisa dibuka karena engselnya
berkarat parah. Sempat terpikir untuk memecahkan kacanya. Tapi bagaimana dengan
teralisnya, tetap saja aku tak bisa keluar. Oh tidaaakkk…aku mulai panik.
Keringat dingin mengucur. Mataku mulai berair. Tiba-tiba mendung bergelayut,
mau hujan makanya suasana jadi gelap. Aku kembali berteriak menaggil
teman-teman piketku. Aku mengutuki diriku karena sudah berbohong pada mereka,
mungkin inilah balasannya. Aku menyesal.
“Hiks hiks hiks…aku takuuutttt…gelap,
pengap…tolong…Ya Allah…harus gimana ini…” suaraku mulai parau, “Resi…tolong aku…aku
harap kamu bisa dengar…” Air mataku tak terbendung lagi. Aku sedih sekali,
iyaaa…aku menyadari aku telah jahat pada Resi karena aku iri padanya. Dia
memang rajin, dengan keterbatasan kakinya dia tak pernah mengeluh, selalu
membantu Ibu, selalu riang meski kadang nyeri menyerang kakinya kalau terlalu lelah.
Aku hanya iri padanya, aku terlalu tinggi hati karena merasa lebih pintar
darinya. Padahal Ayah dan Ibu memperlakukan kami berdua sama, hanya memang kelakuanku
yang sepatutnya ditegur karena aku malas
“Ah Resi…maafkan aku”, aku kembali
menangis membayangkan dia naik turun tangga tanpa bantuanku dengan susah payah.
. Aku berharap punya kemampuan telepati dengan Resi, kami kembar, kalau di film
kartun yang pernah kutonton ada anak kembar yang bisa melakukan telepati. Itu loh…kemampuan
berkomunikasi tanpa menggunakan indra, hanya memakai kekuatan pikiran saja. Ah,
mulai berkhayal…mana mungkiiiin…Diluar hujan sudah turun…aku makin takut.
Tiba-tiba…“KRIETT”…seseorang membuka pintu…suara langkahnya tertatih…aku
merinding, takut sekali sampai menggigil.
“Risa…”, dia memanggilku
lembut. Seketika gigilanku karena takut tadi terhenti. Resi, dia basah kuyup,
seketika aku berdiri dan berlari memeluknya. Sesenggukan aku minta maaf padanya
“Maafkan aku Res, aku jahat udah ninggalin kamu tadi pagi, udah marah dari
subuh tadi sama kamu…, aku minta maaf yaaa…”. Resi
melepaskan pelukanku…”Berat…” katanya sambil nyengir. “Gak papa kok, aku malah
nggak tau kamu marah, aku cari kamu kemana-mana, aku ke kelasmu sudah nggak ada
siapa-siapa, hujan lebat tangganya licin, aku gak berani turun.”, lanjutnya. Air
mataku makin tak terbendung, maafkan aku Resi…
Hujan sudah reda…iseng-iseng
aku tanya ke Resi sambil membantunya menuruni tangga sekolah “Kok kamu tau aku kekunci
di gudang?”. “mmm…nggak tau, tiba-tiba kepingin buka pintu gudang aja, abis
bosan nunggu hujan berhenti, makanya jalan-jalan keliling sekolah”. Aku
tersenyum senang, ini Namanya telepati bukan hanya kebetulan saja. Eh tapi…coba
aku tes sekali lagi. Konsentrasi…lalu dengan yakin aku berkata lantang dalam
hati berulang-ulang “Resi…aku lapar, pingin mie ayam Pak Sukir”, tiba-tiba Resi
menatapku, “Kamu kenapa, melotot-melotot begitu?”. “Kamu denger aku bilang apa
barusan?”, aku bertanya. Dia bingung “Nggak, emang bilang apa?”. “Nggak papa”,
jawabku nyengir. “Ris, kita ngemie ayam dulu yuk di Pak Sukir, aku kok pingin
mie ayam ya…”. Aku kaget…dalam hati berteriak girang…yess yess yess…biarlah
kalau ini hanya kebetulan, tapi aku akan menganggapnya telepati, karena kami
kembar dan hati kami bertaut.
Sampai di warung mie ayam, Ah…ingin
tes sekali lagi…kali ini…”Resi…aku pingin teh manis hangat”, kuulang-ulang dengan yakin dalam hati. Tiba-tiba “Ris, aku sudah
pesankan jeruk manis hangat”. “Gagal dech”, kataku sambil manyun. Resi hanya
melongo saja.
#kelasmenulisceritaanak
#kelasMCA
Saya suka ceritanya mbak. Sederhana tapi mengena.
BalasHapusterimakasih Mba Ria...🙏😊
Hapus