Masih Ingat Pesan Babenya Si Doel?
Jadi kalau tiap hari Jum'at itu para koruptor dah mulai ketar-ketir
dipanggil KPK, yang sebelumnya jadi saksi juga ikut deg-degan takut
kalau-kalau statusnya berubah jadi tersangka, nah yang belum tercium
gelagatnya oleh KPK mulai kumat hipertensinya, takut-takut namanya ikut
terseret dan sebentar lagi jadi tersangka. Sedangkan penduduk Indonesia
yang menyimak dari layar kaca cuma gedek-gedek ngeliat tingkah polah
para pejabat korup yang kalau selesai masa tahanan tetep kaya raya.
Hmmm...pusing yaaa...saya bukan politikus yang tahun tentang
perpolitikan apalagi peradilan yang berlaku. Saya Ibu rumah tangga biasa
yang keta- ketir harga LPG 3 kg belum mau turun, yang takut-takut nanti
berakibat harga susu formula buat balita pada naik, khawatir harga cabe
keriting yang jadi rajanya dapur dan meja makan melonjak lagi. Jadi
yang ingin saya ceritakan disini adalah...
"Jujur jujur, biar hidup loe gak ancuurr" begitu petikan kalimat Babenya si Doel yang notabene buta huruf (dalam cerita saja). Kata-kata itu terus terngiang sejak beberapa tahun yang lalu saat saya bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya berstatus karyawan yang punya hak dan kewajiban yang sama seperti karyawan lain yang ada di situ. Yang membedakan adalah tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada kami karena latar belakang pendidikan kami. Entah karena saya pendiam atau secara wajah mungkin saya ini gampang buat ditindas, saya mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman sekerja saya, sama-sama karyawan, tapi dia berstatus senior. Ada-ada saja alasannya untuk datang terlambat, ya anak lah, ya suami lah, karena saya belum menikah, maka saya cuman maklum. Lama kelamaan tindakan teman saya itu sedikit di luar jalur, dia mulai enggan diberi tanggung jawab pekerjaan, terutama bila berkaitan dengan administrasi, total kami (karyawan yang lain) yang mengerjakan, apalah daya kami, kalau kami tolak maka aktifitas perusahaan akan terhambat. Parahnya lagi, teman saya itu mulai nilep uang perusahaan dengan dalih meminjam, apa yang bisa saya lakukan hanya diam, diam dan diam, saya takut melapor. Setahun berselang, kebiasaan teman saya "meminjam" uang perusahaan semakin menjadi, saya yang makin ketakutan, mulai sering menangis kalau pulang kerja, khawatir dengan apa yang terjadi di perusahaan kami. Saya takut melapor, takut kalau saya dibenci,takut di kucilkan, takut ikut difitnah teman saya itu. Maka saya hanya diam.
Hingga suami saya menawarkan untuk pindah kota. Kesempatan bagi saya untuk resign dari perusahaan, terbebas dari sesuatu yang menyiksa (melihat kemungkaran tapi cuma bisa diam). I'm free, tapi masih suka menghawatirkan nasib perusahaan. 3 tahun berselang saya dapat kabar kalau ulah teman saya itu ketahuan, hancurlah kariernya, hancurlah reputasinya, masih untung teman saya bukan pejabat, masih untung dia tidak digelandang KPK, masih untung tidak jadi deadline surat kabar ternama, tidak diliput TV berita. Teman saya hanya karyawan biasa, yang lalai tentang kejujuran.
Saya membenci dan mengutuk apapun bentuk korupsi, korupsi waktu, korupsi tanggungjawab, apalagi korupsi uang. Saya bukan orang paling jujur di dunia, tapi saya berusaha menjunjung tinggi kejujuran di dunia yang sudah penuh dengan kebohongan ini. Jujur mulai dari diri sendiri dan mengajarkan anak-anak untuk jujur.
Inget-inget pesen Babenya si Doel : "Jujur jujur biar hidup loe gak ancuurr".
"Jujur jujur, biar hidup loe gak ancuurr" begitu petikan kalimat Babenya si Doel yang notabene buta huruf (dalam cerita saja). Kata-kata itu terus terngiang sejak beberapa tahun yang lalu saat saya bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya berstatus karyawan yang punya hak dan kewajiban yang sama seperti karyawan lain yang ada di situ. Yang membedakan adalah tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada kami karena latar belakang pendidikan kami. Entah karena saya pendiam atau secara wajah mungkin saya ini gampang buat ditindas, saya mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman sekerja saya, sama-sama karyawan, tapi dia berstatus senior. Ada-ada saja alasannya untuk datang terlambat, ya anak lah, ya suami lah, karena saya belum menikah, maka saya cuman maklum. Lama kelamaan tindakan teman saya itu sedikit di luar jalur, dia mulai enggan diberi tanggung jawab pekerjaan, terutama bila berkaitan dengan administrasi, total kami (karyawan yang lain) yang mengerjakan, apalah daya kami, kalau kami tolak maka aktifitas perusahaan akan terhambat. Parahnya lagi, teman saya itu mulai nilep uang perusahaan dengan dalih meminjam, apa yang bisa saya lakukan hanya diam, diam dan diam, saya takut melapor. Setahun berselang, kebiasaan teman saya "meminjam" uang perusahaan semakin menjadi, saya yang makin ketakutan, mulai sering menangis kalau pulang kerja, khawatir dengan apa yang terjadi di perusahaan kami. Saya takut melapor, takut kalau saya dibenci,takut di kucilkan, takut ikut difitnah teman saya itu. Maka saya hanya diam.
Hingga suami saya menawarkan untuk pindah kota. Kesempatan bagi saya untuk resign dari perusahaan, terbebas dari sesuatu yang menyiksa (melihat kemungkaran tapi cuma bisa diam). I'm free, tapi masih suka menghawatirkan nasib perusahaan. 3 tahun berselang saya dapat kabar kalau ulah teman saya itu ketahuan, hancurlah kariernya, hancurlah reputasinya, masih untung teman saya bukan pejabat, masih untung dia tidak digelandang KPK, masih untung tidak jadi deadline surat kabar ternama, tidak diliput TV berita. Teman saya hanya karyawan biasa, yang lalai tentang kejujuran.
Saya membenci dan mengutuk apapun bentuk korupsi, korupsi waktu, korupsi tanggungjawab, apalagi korupsi uang. Saya bukan orang paling jujur di dunia, tapi saya berusaha menjunjung tinggi kejujuran di dunia yang sudah penuh dengan kebohongan ini. Jujur mulai dari diri sendiri dan mengajarkan anak-anak untuk jujur.
Inget-inget pesen Babenya si Doel : "Jujur jujur biar hidup loe gak ancuurr".
Komentar
Posting Komentar